Hak dan
Kewajiban Suami Isteri Dalam Rumah Tangga
Yang dimaksud dengan hak adalah apa-apa yang
diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan
kewajiban adalah apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Hak ialah sesuatu yang
dapat dimiliki atau dikuasai sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus
diberikan, baik berupa benda maupun berupa perbuatan. Sesudah pernikahan
dilangsungkan, kedua belah pihak suami istr harus memahami hak dan kewajiban
masing-masing. Hak bagi istri merupakan kewajiban bagi suami, begitu pula
kewajiban istri menjadi hak bagi suami. Suatu hak belum panntas diterima
sebelum kewajiban dilaksanakan. Adanya hak dan kewajiban suami isteri dalam
rumah tangga, dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan beberapa hadits
Nabi. Contoh dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3
”Bagi isteri mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”
Contoh dalam
hadits nabi, umpamanya hadits dari Amru bin al-Ahwash:
ألا أن لكم على نسا ئكمم
عليكم حقا
Artinya: “ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak
yang harus dipikul ileh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus
kamu pikul”
Adapun hak dan kewajiban suami istri terbagi menjadi dua, yakni:
1.
Hak dan
kewajiban suami istri berupa materi:
Kewajiban suami yang merupakan hak isteri yaitu:
1.
Mahar
Adalah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya atau suatu pemberian yang
diwajibkan kepada calon suami kepada isterinya baik dalam bentuk benda ataupun
jasa.
2.
Pemberian suami kepada isteri
karena berpisah (mut’ah)
Yaitu sesuatu yang disenangi. Maksudnya materi
yang diserahkan suami kepada isteri yang dipisahkan dari kehidupannya sebab
talak. Hukum mut’ah itu sendiri terjadi
perbedaan pendapat. Mut’ah wajib diberikan kepada setiap wanita yang
belum bercampur dan sebelum kepastian mahar, ini pendapat ulama hanafiyah dan
As-Syafi’i dalam pendapatnya yang baru (qaul jadid). Sebagian ulama
bependapat bahwa mut’ah dalam kondisi tersebut tidak
wajib, ia hanya sunnah, demikian pendapat Malik, Al-Laits, Ibnu Abi Layla dan
imam syafi’i dalam pendapat yang lama ( qaul qodim). Mayoritas ulama beralasan
dengan dasar firman Allah: QS. Al-Baqarah:236)
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
Artinya:” tidak ada kewajiban membayar (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan”.
QS. Al-Baqarah: 237
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù H
Artinya: “jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu”.
Ayat pertama menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur
dan belum ditentukan maharnya, ia wajib di beri mut’ah. Ayat kedua
menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur dan telah ditentukan
maharnya, hukumnya ia wajib diberi separuh mahar yang ditentukan.
Mengenai ukuran besar
kecilnya mut’ah, terjadi perbedaan pendapat diantara beberapa fuqaha’.
Ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa mut’ah mempunyai ukuran
yang ditentukan, yaitu tiga helai pakaian, baju kurung, kerudung dan rangkapan.
Ulama Syafi’iyah, mut’ah tidak memiliki ukuran yang tertentu, tetapi
disunnahkan untuk tidak kurang dari 30 dirham atau seharga dengan itu.
kewajibannya tidak melebihi mahar mitsil dan sunnahnya tidak melebihi dari
separuh mahar mitsil. Ulama hanabilah berbeda pendapat juga dalam hal ini, mut’ah
yang paling tinggi diberi pembantu, yang pertengahan diberi pakaian, dan yang
paling rendah diberi pakaian yang cukup untuk shalat, yaitu baju kurung dan
kerudung. Ukuran mut’ah tidak ditentukan dalam syara’, mut’ah
berada diantara sesuatu yang memerlukan ijtihad maka wajib dikembalikan kepada
hakim sebagaimanahal-hal lain yang memerlukan ijtihad. Ukuran mut’ah
berbeda-beda sesuai zaman dan tempat.
3.
Nafkah ( sandang, pangan papan)
-
Pengertian
Kata nafaqah yang
berasal dari kata انفق dalam bahasa arab secara etimologi mengandung arti نقص وقل yang berarti berkurang . Juga berarti فنى وذهب yang berarti hilang atau pergi . bila seseorang dikatakan member nafaqah
membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkannya atau
dipergikannya untuk kepentingan orang lain . Bila kata ini dihubungakan dengan
perkawinan mengandung arti : “ sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk
kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan
demikian, nafaqah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami
terhadap istrinya dalam masa perkawinanya
Al-nafaQah merupakan hak istri dan anak untuk
mendapatkan makanan, pakaian dan kediaman,serta beberapa kebutuhan pokok
lainnya dan pengobatan. Bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang
kaya. Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah
dan ijma’ ulama’.
-
Dasar
Firman Allah dalam QS. At-Thalaq: 6
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
”Tempatkanlah mereka (para
isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Menurut hadis Rasulullah
SAW. seperti hadis riwayat Muslim dalam kitab Shahihnya, Rasulullah SAW. pernah
berpidato sewaktu haji wada’:
فاتقوا الله في
النساءفإنكم أخذتموهن بأمانة لله وستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن ألا يوطئن
فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذالك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن
وكسوتهن بالمعروف
Artinya:”bertakwalah kepada Allah tentang urusan perempuan, sungguh
engkau telah mengambilnya dengan amanat Allah, engkau telah menghalalkan
kehormatan mereka dengan kalimah Allah. Engakau punya hak atas mereka, yaitu
mereka tidak boleh membiarkan orang lain yang engkau tidak sukai menempati
tempat tidurmu, apabila mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukainya. Mereka berhak atasmu untuk meminta makan dan pakaian
dengan baik.”
Ijma’ menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya selama
istri tidak nusyuz, karena istri yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya.
-
Syarat
Untuk mendapatkan nafkah harus dipenuhi beberapa syarat, apabila
tidak dipenuhi, maka tidak berhak menerima nafkah. Syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Akadnya sah
2.
Perempuan itu sudah menyerahkan
dirinya kepada suaminya
3.
Isteri itu memungkinkan bagi si
suami untuk dapat menikmati dirinya
4.
Isteri tidak berkeberatan untuk
pindah tempat apabila suami menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud
jahat dengan kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri si isteri dan
kekayaannya, atau pada suatu akad sudah ada janji untuk tidak pindah dari rumah
isteri atau tidak akan pergi dengan isterinya.
5.
Kedua suami isteri masih mampu
melaksanakan kewajiban sebagai suami isteri.
-
Kadar
Apabila seorang suami tinggal bersama
isterinya dan ia memberi nafkah dengan mencukupi segala keperluan isterinya
seperti makanan, pakaian, dan sebagainya, maka si isteri tidak berhak menuntut
ditentukan jumlah nafkahnya, karena suami selalu memenuhi kewajibannya. Apabila
suami kikir, tidak memenuhi keperluan-keperluan isterinya atau meninggalkannya
tanpa member nafkah, maka si isteri boleh mengajukan jumlah atau besarnya kadar
nafkah untuk dirinya, untuk makan, pakaian, serta tempat tinggal. Hakim
berkewajiban untuk memutuskan nafkahnya
dan suami wajib memenuhinya apabila dakwaan isterinya benar.
Isteri juga boleh mengambil kekayaan suaminya
untuk mencukupi kebutuhannya dengan cara yang baik, sekalipun suaminya tidak
tahu, karena suami dianggap tidak melaksanakan kewajibannya sedangkan isteri
berhak mendapatkan nafkah daripadanya dan orang yang punya hak boleh mengambil haknya
manakala Ia sanggup mengambilnya. Alasannya ialah bahwa Hindun isteri Abu
sufyan – ibunya Muawiyah – berkata kepada rasulullah SAW:
“ ya rasulallah, Abu
Sufyan itu kikir sekali, ia tidak memenuhi keperluanku dan anakku kecuali yang
aku ambil dari miliknya dan ia tidak mengetahuinya”. Maka
Rasulullah menjawab, ambillah untuk keperluanmu dan keperluan anak-anakmu
dengan cara yang baik (secukupnya).” (Riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Daud, dan Nasai).
Hadits diatas menunjukkan bahwa jumlah nafkah
diukur menurut kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa
mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga isteri. Oleh karena itu,
jumlah nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, tempat, dan keberadaan manusia.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai kadar
nafkah. Pendapat imam abu hanifah dan imam malik mengatakan bahwa yang
dijadikan standar adalah kebutuhan isteri. berpendapat bahwa kadar nafkah tidak
ditetapkan oleh syara’ tetapi suami
wajib memenuhi keperluan-keperluan isterinya. Ulama’ hanafiyah berpendapat
bahwa kadar nafkah itu disesuaikan dengan kemampuan suami, bagaimanapun keadaan
isteri. Yang menjadi dasar bagi ulama’ ini adaalah Firman Allah dalam al-Qur’an
surat al- Baqarah (2) ayat 233:
4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
“kewajiban
ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”
Pengertian ma’ruf dalam ayat ini difahami
ulama’ golongan itu dengan arti mencukupi.
Pendapat imam Ahmad
mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan nafaqah adalah status
sosial-ekonomi suami dan isteri secara beersama-sama. Jika keduanya kebetulan
status social-ekonominya berbeda, diambil standar menengah diantara
keduanya. Yang jadi pertimbangan bagi
pendapat ini adalah keluarga itu merupakan gabungan diantara suami dan isteri,
oleh karena itu keduanya dijadikan pertimbangan dalam menentukan standar
nafaqah.
Imam syafi’i dan
pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafaqah
isteri adalah status social dan kemampuan ekonomi suami. Pendapat ini juga
berlaku di kalangan ulama’ syi’ah imamiyah. Yang dijadikan landasan pendapat
oleh ulama’ ini adalah firman Allah dalam surat at- Thalaq (65) ayat 7:
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç .
Artinya:”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.”
Selanjutnya ulama’ ini merinci kewajiban suami
pada tiga tingkatan. Bagi suami yang kaya kewajibannya adalah dua mud. (1 mud=
1 katii atau 800 gram). Kewajiban suami yang miskin adalah satu mud, dan yang
pertengahan adalah satu setengah mud. Bila isteri sudah bertempat tinggal dan
makan bersama dengan suaminya, maka kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan
isteri dan anak-anaknya dan tidak ada lagilagi secara khusus pemberian nafaqah.
2.
Hak dan kewajiban suami istri yang berupa immateri
Kewajiban
suami yang merupakan hak bagi istrinya yang bersifat Immateri adalah sebagai
berikut :
a. Menggauli istrinya secara
baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 19
:
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
Artinya :
“Pergaulilah mereka
(istri-istrimu) secara baik. Kemudian Bila kamu tidak menyukai mereka
(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Yang
dimaksudkan dengan pergaulan disini secara khusus adalah pergaulan suami istri termasuk
hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan
yang dikatakan dalam ayat tersebut diistilahkan dengan makruf yang mengandung
arti secara baik; sedangkan bentuk yang makruf itu tidak dijelaskan Allah
secara khusus. Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan alur dan patut
menurut pandangan adat dan lingkungan setempat. Apa yang dipahami juga dari
ayat ini adalah suami harus menjaga ucapan dan perbuatannya jangan sampai
merusak atau menyakiti perasaan istrinya.
b.
Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu
perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan marabahaya.
Dalam ayat ini terkandung suruhan untuk menjaga kehidupan beragama istrinya,
membuat istrinya tetap menjalankan ajaran agama; dan menjauhkan istrinya dari
segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahan Allah. Untuk maksud tersebut
suami wajib memberikan pendidikan agama dan pendidikan lain yang berguna bagi
istri dalam kedudukannya sebagai istri.
Tentang
menjauhkannya dari perbuatan dosa dan maksiat itu dapat dipahami dari umum
firman Allah yang mengatakan :
قوا انفسكم
واهلكم نارا
“
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ”
c.
Suami wajib mengujudkan kehidupan
perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu mawaddah, rahmah,
sakinah. Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi istrinya,
memberikan cinta dan kasih sayang kepada
istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21 :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya :
“Diantara tanda-tanda kebesaran Allah ia menjadikan untukmu
pasangan hidup supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan
diantaramu rasa cinta dan kasih saying. Yang demikian merupakan tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”
Kewajiban istri terhadap suami yang
merupakan hak suami dan istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara
langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi. Kewajiban istri yang bersifat non materi itu adalah :
1.
Menggauli suaminya secara layak
sesuai dengan kodratnya. Hal ini dapat dipahami dari ayat yang menuntut suami
menggauli istrinya dengan baik yang dikutip diatas, karena perintah untuk
menggauli itu berlaku untuk timbal balik
2.
Memberikan rasa tenang dalam rumah
tangga untuk suaminya; dan memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada
suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya. Hal ini sejalan
dengan bunyi surat Ar Rum ayat 21 diatas, karena ayat itu ditujukan kepada
masing-masing suami istri.
3.
Taat dan patuh kepada suaminya
selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.
Kewajiban mematuhi suami ini dapat
dilihat dari isyarat firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 34:
فااصالحات
قانتات حافظاة للغيب بما حفظ الله
“Perempuan-perempuan
yang shaleh ialah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami)
memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara
mereka”
Mematuhi suami
disini mengandung arti mengikuti apa yang diperintahkannya dan menghentikan apa
yang dilarangnya selama tidak menyalahi ketentuan agama. Bila suruhan dan
larangannya menyalahi ketentuan agama, tidak ada kewajiban istri untuk
mengikutinya. Umpamanya suami meminta istri mengikui kebiasaannya berjudi.
Tidak adanya kewajiban patuh kepada siapapun termasuk kepada suami yang
menyuruh kepada berbuat maksiat dapat dipahami dari sabda nabi :
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada kewajiban taat pada siapapun yang menyuruh untuk
bermaksiat kepada Allah.”
4.
Menjaga dirinya dan menjaga harta
suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah. Hal ini dapat dipahami
dari firman Allah tersebut di atas.
5.
Menjauhkan dirinya dari segala
sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya
6.
Menjauhkan dirinya dari
memperihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar
Kesemuanya ini dapat dilihat dari
sabda Nabi :
قيل : يا رسول الله أي النساء الخير ؟ قال: التي تسره ان نظر و تطيع ان امر
ولا تخالفه في نفسها ومالها بما يكره
“ Nabi ditanya: Ya Rasulullah Perempuan mana yang lebih baik ? ”
Nabi berkata : “Bila suami memandangnya, ia menyenagkan suaminya, bila suami
menyuruhnya, ia mematuhinya, ia tidak menyalahi suaminya tentang diri dan
hartanya dengan sesuatu yang tidak disenanginya.”
Hak dan Kewajiban Bersama Suami
Istri
Yang dimaksud dengan hak bersama suami istri
ini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap
yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut :
1.
Bolehnya bergaul dan
bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan
itu.
2.
Timbulnya hubungan suami dengan keluarga
istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut
dengan hubungan Mushaharah
Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak
mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.
3.
Suami istri memikul kewajiban untuk
mengasuh dan memlihara anak – anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani,
rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
Sedangkan
kewajiban keduanya secara bersama-sama setelah terjadinya perkawinan itu adalah
:
1.
Memelihara dan mendidik anak
keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut
2.
Memelihara kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar