Kamis, 13 Juni 2013

Hak dan Kewajiban Suami Istri


Hak dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Rumah Tangga
Yang dimaksud dengan hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Hak ialah sesuatu yang dapat dimiliki atau dikuasai sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan, baik berupa benda maupun berupa perbuatan. Sesudah pernikahan dilangsungkan, kedua belah pihak suami istr harus memahami hak dan kewajiban masing-masing. Hak bagi istri merupakan kewajiban bagi suami, begitu pula kewajiban istri menjadi hak bagi suami. Suatu hak belum panntas diterima sebelum kewajiban dilaksanakan. Adanya hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan beberapa hadits Nabi. Contoh dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3   
”Bagi isteri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”
Contoh dalam hadits nabi, umpamanya hadits dari Amru bin al-Ahwash:
ألا أن لكم على نسا ئكمم عليكم حقا
Artinya: “ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul ileh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”
Adapun hak dan kewajiban suami istri terbagi menjadi dua, yakni:
1.      Hak dan kewajiban suami istri berupa materi:
Kewajiban suami yang merupakan hak isteri yaitu:
1.      Mahar
Adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya atau suatu pemberian yang diwajibkan kepada calon suami kepada isterinya baik dalam bentuk benda ataupun jasa.
2.      Pemberian suami kepada isteri karena berpisah (mut’ah)
Yaitu sesuatu yang disenangi. Maksudnya materi yang diserahkan suami kepada isteri yang dipisahkan dari kehidupannya sebab talak. Hukum mut’ah itu sendiri terjadi perbedaan pendapat. Mut’ah wajib diberikan kepada setiap wanita yang belum bercampur dan sebelum kepastian mahar, ini pendapat ulama hanafiyah dan As-Syafi’i dalam pendapatnya yang baru (qaul jadid). Sebagian ulama bependapat  bahwa  mut’ah dalam kondisi tersebut tidak wajib, ia hanya sunnah, demikian pendapat Malik, Al-Laits, Ibnu Abi Layla dan imam syafi’i dalam pendapat yang lama ( qaul qodim). Mayoritas ulama beralasan dengan dasar firman Allah: QS. Al-Baqarah:236)
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ  
Artinya:” tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.
QS. Al-Baqarah: 237
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù H
Artinya: “jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”.
     Ayat pertama menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur dan belum ditentukan maharnya, ia wajib di beri mut’ah. Ayat kedua menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur dan telah ditentukan maharnya, hukumnya ia wajib diberi separuh mahar yang ditentukan.
Mengenai ukuran besar kecilnya mut’ah, terjadi perbedaan pendapat diantara beberapa fuqaha’. Ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa mut’ah mempunyai ukuran yang ditentukan, yaitu tiga helai pakaian, baju kurung, kerudung dan rangkapan. Ulama Syafi’iyah, mut’ah tidak memiliki ukuran yang tertentu, tetapi disunnahkan untuk tidak kurang dari 30 dirham atau seharga dengan itu. kewajibannya tidak melebihi mahar mitsil dan sunnahnya tidak melebihi dari separuh mahar mitsil. Ulama hanabilah berbeda pendapat juga dalam hal ini, mut’ah yang paling tinggi diberi pembantu, yang pertengahan diberi pakaian, dan yang paling rendah diberi pakaian yang cukup untuk shalat, yaitu baju kurung dan kerudung. Ukuran mut’ah tidak ditentukan dalam syara’, mut’ah berada diantara sesuatu yang memerlukan ijtihad maka wajib dikembalikan kepada hakim sebagaimanahal-hal lain yang memerlukan ijtihad. Ukuran mut’ah berbeda-beda sesuai zaman dan tempat.
3.                            Nafkah ( sandang, pangan papan)

-       Pengertian
Kata nafaqah yang berasal dari kata انفق dalam bahasa arab secara etimologi mengandung arti نقص وقل yang berarti berkurang . Juga berarti فنى وذهب yang berarti hilang atau pergi . bila seseorang dikatakan member nafaqah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkannya atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain . Bila kata ini dihubungakan dengan perkawinan mengandung arti : “ sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafaqah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinanya
Al-nafaQah merupakan hak istri dan anak untuk mendapatkan makanan, pakaian dan kediaman,serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan. Bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ ulama’.
-        Dasar
Firman Allah dalam QS. At-Thalaq: 6
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4  
”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Menurut hadis Rasulullah SAW. seperti hadis riwayat Muslim dalam kitab Shahihnya, Rasulullah SAW. pernah berpidato sewaktu haji wada’:
فاتقوا الله في النساءفإنكم أخذتموهن بأمانة لله وستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن ألا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذالك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Artinya:”bertakwalah kepada Allah tentang urusan perempuan, sungguh engkau telah mengambilnya dengan amanat Allah, engkau telah menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah. Engakau punya hak atas mereka, yaitu mereka tidak boleh membiarkan orang lain yang engkau tidak sukai menempati tempat tidurmu, apabila mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukainya. Mereka berhak atasmu untuk meminta makan dan pakaian dengan baik.”
Ijma’ menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya selama istri tidak nusyuz, karena istri yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
-          Syarat
Untuk mendapatkan nafkah harus dipenuhi beberapa syarat, apabila tidak dipenuhi, maka tidak berhak menerima nafkah. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Akadnya sah
2.      Perempuan itu sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya
3.      Isteri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya
4.      Isteri tidak berkeberatan untuk pindah tempat apabila suami menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri si isteri dan kekayaannya, atau pada suatu akad sudah ada janji untuk tidak pindah dari rumah isteri atau tidak akan pergi dengan isterinya.
5.      Kedua suami isteri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami isteri.

-       Kadar
Apabila seorang suami tinggal bersama isterinya dan ia memberi nafkah dengan mencukupi segala keperluan isterinya seperti makanan, pakaian, dan sebagainya, maka si isteri tidak berhak menuntut ditentukan jumlah nafkahnya, karena suami selalu memenuhi kewajibannya. Apabila suami kikir, tidak memenuhi keperluan-keperluan isterinya atau meninggalkannya tanpa member nafkah, maka si isteri boleh mengajukan jumlah atau besarnya kadar nafkah untuk dirinya, untuk makan, pakaian, serta tempat tinggal. Hakim berkewajiban untuk  memutuskan nafkahnya dan suami wajib memenuhinya apabila dakwaan isterinya benar.
Isteri juga boleh mengambil kekayaan suaminya untuk mencukupi kebutuhannya dengan cara yang baik, sekalipun suaminya tidak tahu, karena suami dianggap tidak melaksanakan kewajibannya sedangkan isteri berhak mendapatkan nafkah daripadanya dan orang yang punya hak boleh mengambil haknya manakala Ia sanggup mengambilnya. Alasannya ialah bahwa Hindun isteri Abu sufyan – ibunya Muawiyah – berkata kepada rasulullah SAW:
“ ya rasulallah, Abu Sufyan itu kikir sekali, ia tidak memenuhi keperluanku dan anakku kecuali yang aku ambil dari miliknya dan ia tidak mengetahuinya”. Maka Rasulullah menjawab, ambillah untuk keperluanmu dan keperluan anak-anakmu dengan cara yang baik (secukupnya).” (Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasai).
Hadits diatas menunjukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga isteri. Oleh karena itu, jumlah nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, tempat, dan keberadaan manusia.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai kadar nafkah. Pendapat imam abu hanifah dan imam malik mengatakan bahwa yang dijadikan standar adalah kebutuhan isteri. berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’  tetapi suami wajib memenuhi keperluan-keperluan isterinya. Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah itu disesuaikan dengan kemampuan suami, bagaimanapun keadaan isteri. Yang menjadi dasar bagi ulama’ ini adaalah Firman Allah dalam al-Qur’an surat al- Baqarah (2) ayat 233:
4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
“kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”
Pengertian ma’ruf dalam ayat ini difahami ulama’ golongan itu dengan arti mencukupi.

Pendapat imam Ahmad mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan nafaqah adalah status sosial-ekonomi suami dan isteri secara beersama-sama. Jika keduanya kebetulan status social-ekonominya berbeda, diambil standar menengah diantara keduanya.  Yang jadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah keluarga itu merupakan gabungan diantara suami dan isteri, oleh karena itu keduanya dijadikan pertimbangan dalam menentukan standar nafaqah.
Imam syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafaqah isteri adalah status social dan kemampuan ekonomi suami. Pendapat ini juga berlaku di kalangan ulama’ syi’ah imamiyah. Yang dijadikan landasan pendapat oleh ulama’ ini adalah firman Allah dalam surat at- Thalaq (65) ayat 7:
÷,ÏÿYãÏ9 rèŒ 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuŠy ª!$# y÷èt/ 9Žô£ãã #ZŽô£ç .
Artinya:”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Selanjutnya ulama’ ini merinci kewajiban suami pada tiga tingkatan. Bagi suami yang kaya kewajibannya adalah dua mud. (1 mud= 1 katii atau 800 gram). Kewajiban suami yang miskin adalah satu mud, dan yang pertengahan adalah satu setengah mud. Bila isteri sudah bertempat tinggal dan makan bersama dengan suaminya, maka kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya dan tidak ada lagilagi secara khusus pemberian nafaqah.

2.      Hak dan kewajiban suami istri yang berupa immateri
Kewajiban suami yang merupakan hak bagi istrinya yang bersifat Immateri adalah sebagai berikut :
a.       Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 19 :
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  
Artinya :
“Pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kemudian Bila kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Yang dimaksudkan dengan pergaulan disini secara khusus adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat tersebut diistilahkan dengan makruf yang mengandung arti secara baik; sedangkan bentuk yang makruf itu tidak dijelaskan Allah secara khusus. Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan setempat. Apa yang dipahami juga dari ayat ini adalah suami harus menjaga ucapan dan perbuatannya jangan sampai merusak atau menyakiti perasaan istrinya.
b.                   Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan marabahaya. Dalam ayat ini terkandung suruhan untuk menjaga kehidupan beragama istrinya, membuat istrinya tetap menjalankan ajaran agama; dan menjauhkan istrinya dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahan Allah. Untuk maksud tersebut suami wajib memberikan pendidikan agama dan pendidikan lain yang berguna bagi istri dalam kedudukannya sebagai istri.
Tentang menjauhkannya dari perbuatan dosa dan maksiat itu dapat dipahami dari umum firman Allah yang mengatakan :
قوا انفسكم واهلكم نارا
“ Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ”
c.                   Suami wajib mengujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu mawaddah, rahmah, sakinah. Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi istrinya, memberikan cinta dan  kasih sayang kepada istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21 :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
Artinya :
Diantara tanda-tanda kebesaran Allah ia menjadikan untukmu pasangan hidup supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan diantaramu rasa cinta dan kasih saying. Yang demikian merupakan tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
            Kewajiban istri terhadap suami yang merupakan hak suami dan istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi. Kewajiban istri yang bersifat non materi itu adalah :
1.      Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya. Hal ini dapat dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauli istrinya dengan baik yang dikutip diatas, karena perintah untuk menggauli itu berlaku untuk timbal balik
2.      Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya; dan memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya. Hal ini sejalan dengan bunyi surat Ar Rum ayat 21 diatas, karena ayat itu ditujukan kepada masing-masing suami istri.
3.      Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.
Kewajiban mematuhi suami ini dapat dilihat dari isyarat firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 34:
فااصالحات قانتات حافظاة للغيب بما حفظ الله
“Perempuan-perempuan yang shaleh ialah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami) memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka”

Mematuhi suami disini mengandung arti mengikuti apa yang diperintahkannya dan menghentikan apa yang dilarangnya selama tidak menyalahi ketentuan agama. Bila suruhan dan larangannya menyalahi ketentuan agama, tidak ada kewajiban istri untuk mengikutinya. Umpamanya suami meminta istri mengikui kebiasaannya berjudi. Tidak adanya kewajiban patuh kepada siapapun termasuk kepada suami yang menyuruh kepada berbuat maksiat dapat dipahami dari sabda nabi :
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada kewajiban taat pada siapapun yang menyuruh untuk bermaksiat kepada Allah.”

4.      Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah tersebut di atas.
5.      Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya
6.      Menjauhkan dirinya dari memperihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar
Kesemuanya ini dapat dilihat dari sabda Nabi :
قيل : يا رسول الله أي النساء الخير ؟ قال: التي تسره ان نظر و تطيع ان امر ولا تخالفه في نفسها ومالها بما يكره
“ Nabi ditanya: Ya Rasulullah Perempuan mana yang lebih baik ? ” Nabi berkata : “Bila suami memandangnya, ia menyenagkan suaminya, bila suami menyuruhnya, ia mematuhinya, ia tidak menyalahi suaminya tentang diri dan hartanya dengan sesuatu yang tidak disenanginya.”
Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri
Yang dimaksud dengan hak bersama suami istri ini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut :
1.    Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2.    Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut dengan hubungan Mushaharah
Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.
3.    Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memlihara anak – anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
            Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama-sama setelah terjadinya perkawinan itu adalah :
1.      Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut
2.      Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah